Sabtu, 16 November 2013

NGELAYAP SINGKAT KE JOGJA, ½ HARI

“Tiba di Stasiun Lempuyangan pukul 8.30 pagi, pulang kembali Jakarta pukul 8.30 malam”


Suasana pagi di Jalan Malioboro, Jogja


Perjalanan yang bisa dikatakan konyol ini, masih membuat saya gak habis pikir akan butuhnya saya dengan yang namanya, jalan-jalan alias NGELAYAP. Bukan hanya karena durasi waktu yang dihabiskan cukup singkat (yang notabene agak sedikit aneh dengan kebiasaan para backpacker), tetapi juga karena persiapan dan keputusan untuk ngelayap ke kota Gudeg ini sangat sangat tidak masuk akal.

Kegiatan ngelayap ke Jogja ini saya lakukan di bulan Juli tahun 2010. Saat itu ada beberapa teman dari kampus yang mengajak saya untuk backpacker-an kesana selama 4 hari. Dikarenakan pada bulan tersebut ada kegiatan kampus yang harus saya ikuti, akhirnya setelah melihat jadwal terakhir kegiatan tersebut maka disepakati bahwa tanggal berangkatnya adalah 12 Juli 2010 dengan menumpang kereta api Progo dan pulang tanggal 16 Juli 2010 dengan kereta yang sama. Sampai tiba pada H-2 sebelum keberangkatan, jeegggeeerrrrr...!!!!! Kondisi terjepit akhirnya menimpa saya dan salah satu rekan saya yang juga akan berangkat ke Jogja. Keputusan rapat akan kegiatan kampus yang saya maksud di atas diundur sampai tanggal 14 Juli. What???!!!!!!Gue kan ngelayap ke Jogja tanggal segitu”, gumam saya dalam hati sambil elus-elus dada, injek-injek bumi, banting-banting kursi, keluarin kamekameha si Dragon Ball yang akhirnya menghancurkan dinding salah satu ruangan kampus. Oke, cukup, itu agak berlebihan.

Galau, yaa galau yang saya rasakan. Bayangan akan serunya kebersamaan dengan teman-teman kampus saya selama berada disana, musnah seketika. Otak kembali dipenuhi dengan ribetnya kegiatan kampus yang harus diundur. Sampai tiba saat hari keberangkatan, siang itu tingkat kegalauan saya semakin memuncak karena teman-teman saya yang akan berangkat ke Jogja sudah berkumpul dengan daypack-nya masing-masing.

“Jadi ikut gak?”, tanya salah seorang teman saya.
Tanpa menoleh saya menggelengkan kepala sambil meninggalkan mereka, kembali masuk ke kamar kos saya. Setengah jam kemudian mereka pun berangkat.

Ohh tidak, hati gundah gulana. Saya dan satu teman saya yang bernasib sama, akhirnya hanya main pasir dan batu di depan kosan, meratapi nasib yang menimpa kami.

“Bisa gak sih, kalau kita berangkat sekarang, besok malamnya langsung pulang biar tanggal 14 udah bisa ada di kampus?”, tanya teman senasib saya sambil gigitin salah satu batang pohon.

Saya tidak menjawab, tetapi otak saya tiba-tiba langsung berputar ketika pertanyaan tersebut dia lempar. Sambil menunggu jawaban saya, dia pun semakin lahap menggigiti batang pohon.

“Bisa-bisa aja sih, tapi gak bakal sempat ke pantai parangtritis, paling kita cuma bisa main-main di kota Jogjanya”, jawab saya beberapa menit kemudian sambil menarik dia agar tidak melanjutkan kegiatan menggigiti pohon, karena bisa-bisa nanti habis 1 pohon hanya untuk dia seorang, tetapi dia menolak dan saya di-getok pakai batang pohon yang ada ditangannya, yang akhirnya menyebabkan saya jadi tambah tampan. Oppsss, sabar pemirsa, saya memang sudah tampan kok walaupun tidak di-getok dengan batang pohon. (Sudah, jangan kita lanjutkan tentang batang pohon itu).

“Yauda yuk kita berangkat. Masih cukup kan kalau kita ke stasiun senen sekarang?”, ajak teman saya.
Lihat jam, sudah menunjukan pukul 3 sore. “Cukup, tapi harus beli tiket dulu biar gak kehabisan”, jawab saya sambil bergegas mengambil handphone untuk menghubungi teman –teman saya yang sudah tiba di stasiun Pasar Senen.
Yesss, ternyata teman-teman saya masih mengantri untuk membeli tiket. Langsung saya titip 2 tiket untuk kami berdua. Tidak pikir panjang, kami berdua pun langsung bergegas. Setengah jam kemudian, kami sudah siap berangkat menuju Pasar Senen. Saya hanya dengan satu pocket bag selempang yang berisi dompet dan handphone sedangkan teman saya dengan satu buah tas ransel imut yang biasa dipakai untuk nge-mol.
Sebelum tiba di stasiun Pasar Senen, ada hal menarik karena kecerdasan kami berdua diuji. Saat itu di daerah Manggarai, kami bertanya tentang angkutan menuju stasiun Pasar Senen kepada seorang bapak yang sedang asyik merokok sambil mengobrol. Si bapak menjawab kami harus naik metromini . Setelah di dalam metromini, saya kembali bertanya kepada kernetnya apakah ini ke stasiun Pasar Senen.
“Iya mas, ini trayek Manggarai-Pasar Senen, tapi sekarang ini menuju terminal Manggarai, kalau mas mau ke Senen naik yang dari seberang”, jawab sang kernet.
Ohh, yaa, dengan tampang kami yang pongo (walaupun mencoba tetap cool, tetap aja keliatan pongo-nya) sambil bilang terima kasih kepada sang kernet, langsung kami turun kembali dari metromini tersebut. Happ, kami meloncat keluar dan bersiap untuk menyeberang.
“Naiknya dari seberang sana dek kalau mau ke Senen!” teriak bapak dari jauh yang kami tanyai tadi.
Yaaaeeelllaahhhhh Pak, telaaaaattttt. Bagus tadi gue nanya lagi, coba kalau nggak, hadehhhh”, gumam saya dalam hati sambil mengangguk ke si bapak.

Bercengkerama di pinggir peron Stasiun Pasar Senen, kehangatan kebersamaan
Setibanya di stasiun Pasar Senen, sebelum bertemu dengan teman-teman saya yang sudah menunggu, saya membeli 2 bungkus nasi goreng dulu sebagai persiapan makan malam di atas kereta nanti. Setelah bertemu dengan teman-teman yang lain, maka tenang lah hati saya karena tandanya saya tetap bisa ke Jogja. Sedikit bercengkerama di peron stasiun mewarnai malam itu ketika menunggu kehadiran kereta Progo. Teman-teman saya hanya bisa geleng-geleng kepala ketika saya ceritakan kenapa kami berdua memutuskan tetap berangkat dan hanya ”singgah” sebentar di Jogja sebelum kembali lagi ke kampus.
Progo, kereta  yang sangat akrab tidak hanya oleh mereka yang ingin pulang ke kampung halaman, tetapi juga sangat akrab oleh para pelancong yang ingin menikmati suasana malam di Malioboro. Saat itu PT. KAI belum mereformasi dirinya seperti sekarang ini. Belum ada pelayanan pemesanan tiket secara online, belum ada sistem boarding pass, belum ada ketegasan atas “kepemilikan” nomor kursi. Ketika kereta datang, khususnya kelas ekonomi, maka akan langsung dihinggapi oleh ratusan, bahkan ribuan manusia yang berebut mendapatkan tempat duduk. Sistem penomoran tempat duduk tidak berfungsi, semua menggunakan sistem “siapa cepat dia dapat”. Kapasitas penumpang pun tidak diperhatikan. Tiket akan terus dijual selama kereta belum berangkat, nomor kursi “berdiri” bisa muncul.
Maka malam itu di dalam kereta Progo menuju kota Gudeg, sisi lain dari kehidupan masyarakat Indonesia menjadi penampakan yang sangat indah. Semua orang berjubel masuk ke dalam kereta dengan barang bawaannya masing-masing. Tempat duduk terisi penuh. Lorong gerbong kereta yang berfungsi sebagai tempat orang berjalan, berganti fungsi menjadi kursi ekstra bagi mereka yang tidak dapat tempat duduk. Sambungan gerbong yang tidak boleh dijadikan tempat berdiam diri, menjadi ruang khusus bagi mereka yang merokok. Ayam yang dimasukan ke dalam keranjang mengeluarkan suara khasnya, bau minyak angin bercampur dengan bau beragam makanan menghiasi semilir angin yang masuk ke dalam gerbong melalui jendela.
Pukul 8 pagi, kereta Progo akhirnya tiba di stasiun akhir perjalanannya, stasiun Lempunyangan. Suasana pagi di stasiun Lempuyangan tidak berbeda jauh dengan stasiun-stasiun lainnya di Indonesia, ramai oleh orang yang menawarkan jasa transportasi. jam menunjukan pukul 8.30, melihat adanya toilet umum saya beserta yang lain segera bergegas hanya untuk sekedar cuci muka & sikat gigi. Mengingat kondisi kami tadi malam yang bermandikan keringat selama perjalanan, maka wangi-wangi semerbak parfum merek BB, alias Bau Badan, menjadi khas rombongan kami, hehe. 

Komplek Candi Prambanan
Tujuan kami yang pertama adalah, Malioboro. Karena saat itu kami tidak punya itinerary matang, maka hari itu disepakati untuk berkeliling kota Jogja saja. Berjalan kaki dari stasiun Lempuyangan menuju Malioboro, diselingi dengan canda tawa bersama keramahan pagi di kota Jogja, melewati jalan & gang kecil yang dipenuhi senyuman khas warga Jogja, akan menjadi virus tersendiri sehingga siapa pun yang merasakan itu akan berniat untuk kembali lagi di lain waktu.

Tiba di Malioboro, langsung menuju Tourist Center untuk mengambil peta wisata & bertanya rute keliling objek wisata Jogja. Kami disarankan menuju Candi Prambanan, karena akses transportasinya cukup mudah & murah, yaitu menggunakan Trans Jogja (saudara dari Busway Transjakarta). Dengan membeli tiket seharga Rp. 3000/orang, kami sudah bisa sampai di Candi Prambanan.

Saat itu Trans Jogja bisa dikatakan bagus, kondisi bus yang masih terawat, Shelter yang bersih dan sudah menggunakan sistem e-ticketing, serta pelayanan petugas yang ramah menjadikan Trans Jogja transportasi andalan bagi para backpacker seperti kami. Ketika kami masuk ke dalam Trans Jogja, kami merasakan betapa harumnya parfum BB kami, sehingga masing-masing dari kami pun menutup hidung menahan napas, haha. Mohon maaf kepada penumpang lainnya, maklumlah tidak mandi, haha.

Sekitar 45 menit kemudian kami tiba di Candi Prambanan. Komplek candi yang memiliki cerita tentang usaha seorang pria yang menerima tantangan seorang wanita yang dicintainya. Mendirikan 1000 candi dalam waktu satu malam. Walaupun usahanya tidak berhasil, tetapi makna yang disampaikan sangan dalam. Perjuangan besar seorang pria untuk mendapatkan wanita, bukanlah perjuangan biasa, karena lembaran hidup baru akan terbuka ketika wanita itu dimilikinya.

Membayar tiket masuk sebesar Rp.15.000/orang, untuk saat itu, tahun 2010, entah berapa untuk sekarang, hhe. Siang yang terik, tidak menghalangi kami untuk menjelajahi komplek candi. Hampir setiap sudut komplek candi kami jelajahi. Apalagi selain foto-foto yang bisa kami lakukan. Setelah selesai sholat Dzuhur jama' Ashar dan makan siang di komplek Candi dengan membayar Rp.15.000/orang, kami kembali menaiki Trans Jogja ke Malioboro.

Diskusi rute keliling Jogja
Tiba di Malioboro, teman-teman saya yang lain langsung mencari penginapan untuk mereka, sedangkan saya dan rekan saya (yang suka gigitin batang pohon itu) menghabiskan sore dengan jelajah Malioboro. Benteng Vredeburg menjadi salah satu destinasi kami berdua walaupun sudah ditutup untuk umum karena sudah waktunya tutup (yaiyalah, masa waktunya buka). Sekedar foto agar tidak dibilang hoax, jadi ritual wajib, hhe.

Selesai jelajah Malioboro, menjelang Maghrib kami menghubungi teman-teman yang lain untuk menanyakan penginapan mereka. Terletak di Jl. Sosrowijayan, penginapan itu memiliki beberapa kamar. Teman-teman kami menyewa 1 kamar besar dengan 3 tempat tidur dan kamar mandi di dalam seharga Rp.100.000/malam. Jika dibagi 8 orang (jumlah mereka yang menginap), maka per orang hanya dikenakan Rp.12.500. Murah beneerrr. Kami hanya menumpang mandi dan istirahat sebentar di penginapan itu. Selanjutnya, kami langsung kembali ke Jakarta.

Mandi sudah, maka kami berdua pamit kepada ke yang lain. Teman-teman kami yang lain masih melanjutkan petualangannya selama 3 hari lagi. Dengan berharap bahwa masih ada kereta yang ke arah Jakarta, kami berdua melangkahkan kaki dengan cepat ke stasiun Tugu. Sampai disana, memang masih ada kereta ke Jakarta, tetapi kereta eksekutif, sedangkan kelas bisnis sudah tidak ada. Panik? Ya, sedikit, karena harapan kami berdua tinggal naik bus walaupun tidak tahu naik bus apa dan darimana naiknya.

Lihat-lihat kontak di handphone, siapa tahu ada teman di Jogja yang bisa bantu mencari jalan pulang kami. Dapat satu nama teman SMA saya yang kuliah di Jogja. Saya telepon, tidak diangkat. Telepon lagi, tidak aktif. Saya mulai kesal. Coba lagi. 

"Halo", jawab suara diseberang sana. Akhirnya. Terminal Giwangan, jadi tujuan kami untuk mencari bus ke Jakarta berdasarkan saran teman yang saya telepon. Dengan menggunakan TransJogja, kami tiba di terminal Giwangan. Sepi. Hampir tidak terasa nuansa terminalnya. Sempat ragu, apakah bisa dari terminal ini kami kembali ke Jakarta.

Kami coba masuk lebih ke dalam, ternyata ada deretan loket bus beserta warung-warung. Langsung saja kami tanya yang tujuan Jakarta. Satu orang memberitahu kalau yang ke Jakarta sudah habis. Tidak percaya, kami bertanya lagi. Orang kedua juga bilang habis. Orang ketiga pun sama. Sampai kami didekati orang yang bisa dibilang 'calo'. Calo itu menawarkan bus tujuan Pekanbaru yang melewati Jakarta via jalur selatan. Tanya harga, ternyata harga yang ditawarkan sangat 'wow', Rp.180.000,- per orang. Kami tolak, karena memang kami tidak ada uang lagi. Berharap calo tersebut menurunkan tawarannya. Sambil berjalan pergi dari calo tersebut, teman saya bertanya.

"Gimana kalau malam ini kita ga bisa pulang ke Jakarta?", tanyanya.
"Yaa paling kita balik ke penginapan, ikut backpackeran sama yang lain", jawab saya.
"Terus acara di kampus?", tanyanya lagi.
"Ya ditinggal, mau gimana lagi coba? Paling kita ditempelengin sama yang lain, haha", jawab saya seraya menghibur diri.

Sedang asyiknya kami mengobrol, tiba-tiba calo tadi mendekati kami dan menawarkan kembali. Kali ini dengan menurunkan harga menjadi Rp.150.000,-. Saya tawar Rp.100.000,-. Setelah negosiasi yang cukup alot, akhirnya disepakati ongkos yang kami bayar Rp.110.000,-/orang. Langsung saja kami naik ke atas bus tujuan Pekanbaru tersebut. Tidak lama kemudian, bus berjalan meninggalkan terminal Giwangan. Hanya menunggu beberapa menit, kami juga mulai tertidur.

Apakah sudah selesai petualangan kami? Belum saudara-saudara sekalian. Di tengah perjalanan saya terbangun, melihat ke arah jendela untuk mengetahui sudah berada dimana bus ini. Ternyata bus ini tidak melewati jalur selatan, tetapi lewat jalur utara yang lebih jauh jika dari Jogja ke Jakarta. Artinya, kami dikibulin oleh calo di terminal Giwangan. Tak apa-apa lah, toh yang penting kami bisa tiba di Jakarta.
Bus memasuki tol dalam kota Jakarta dan berhenti di pintu tol jatibening. Yang tujuan Jakarta dipersilahkan untuk turun karena bus tersebut tidak akan berhenti lagi sampai di Pelabuhan Merak. Dari Jatibening kami melanjutkan naik angkutan umum, mulai dari bus patas, kopaja, sampai angkot. Daaaannnn, ketika kami tiba dikosan, uang kami berdua tersisa 2 lembar uang 5 ribuan, 4 lembar 2 ribuan, 1 lembar uang seribuan, dan 2 logam gope'an, jika dijumlah menjadi Rp.20.000,-, hahaha.
Jika melihat waktu kami selama di Jogja, mungkin akan terasa sangat sebentar, 12 jam saja. Tetapi, jika dirasakan pengalaman yang kami dapatkan selama menjalani kenekatan itu, maka salah satu keindahan Indonesia berbekas di hati kami. Indonesia dengan segala ketidakteraturannya, tetapi tetap Indonesia indah. Jadi, tunggu apalagi? Ayo rasakan Indonesia yang sesungguhnya, karena Indonesia tidak hanya cukup dengan kata.
Suasana malam di sudut Jalan Malioboro

Minggu, 10 November 2013

Indonesia Dalam Kata, SURPRISE!


Travel mate saya yang bernama Herry Kurniawan mengigau disela-sela saya sedang sibuk membuka dan membaca blog-blog traveler untuk mencari itinerary next trip kami selama di Makassar. Dia mengigau lewat pesan di BBM. He said :
"coba deh buka blog Indonesia Dalam Kata, keren ngga?"
Tanpa pikir panjang langsung saja saya nyolek mbah google untuk minta dicariin blog itu, tapi hasilnya nothing.  Kemudian saya langsung mengonfirmasi ke Herry mengenai keberadaan blog yang katanya keren itu, dia langsung kirim emo nyengir di BBM sambil bilang :
“iyalah belum ada, orang belum dibikin” *lol

SURPRISE! Kemarin, Sabtu, 9 November 2013 pas online dan mengecek email, saya mendapat undangan dari Herry untuk jadi kontributor blog INDONESIA DALAM KATA.  Saya sempat mengerutkan alis mata sejenak mencoba menelaah dan mengerti arti dari judul blog tersebut, tapi saya urungkan niat dan langsung saja membaca postingan perdana di blog Indonesia Dalam Kata "Langkah Kecil Mengawali Berbagi Keindahan Indonesia" 


Tampilan perdana Indonesia Dalam Kata



SALUTE!! Congrats boy! Pok pok pok! One step ahead. Talk less do more, Action! You did it. Semoga konsisten yaa..

Langsung saja tanpa pikir panjang saya approve undangan itu, walaupun dalam hati bergumam, “emangnya gue bisa apa ya nulis di blog?” haha.. But, whatever lah, sambil menumbuhkan rasa keinginan untuk menulis, melatih mengekspresikan rasa lewat tulisan, dan terus jalan-jalan sambil berbagi pengalaman kepada sesama bolang akhirnya saya memutuskan untuk keep writing, keep learning, keep travelling and keep inspiring ~ yeay!

Karena merasakan Indonesia tidak cukup hanya dengan kata..

Semoga bermanfaat :)

Sabtu, 09 November 2013

Langkah Kecil Mengawali Berbagi Keindahan Indonesia

Bingung.
Yaa...itu kata pertama yang terlintas dalam pikiran saya ketika membuat blog ini. Tapi kebingungan akan hilang bersama sebuah pijakan langkah kecil.


Semua berawal dari kegilaan saya terhadap traveling, yang mungkin mayoritas dirasakan oleh para blogger-blogger perjalanan lainnya. Wabah traveling, jalan-jalan, ngetrip, backpacker-an, hiking, wisata, melancong, atau apapun sebutan dari semua itu yang lebih familiar buat pemirsa sekalian, tidak lagi menjadi sebuah hobi atau pun lifestyle, tapi sudah menjadi sebuah KEBUTUHAN. Yaa, menjadi sebuah kebutuhan, sama seperti makan, minum, dan tidur.

Tidak percaya? Coba bayangkan, ketika sedang mumet-mumetnya masalah kerjaan karena si bos selalu marah dan tidak pernah berhenti memberi tugas baru dengan kata-kata bujukan "tolong". Atau rutinitas kuliah yang selalu disajikan dengan slide-slide powerpoint diselingi irama merdu suara sang dosen padahal baru tidur habis subuh gara-gara turnamen Domino, atau galau karena pacar tak kunjung tiba -punya- (oke, yang terakhir jangan dimasukin ke hati ya). Tiba-tiba ada teman yang pasang profil picture dengan latar belakang pantai, atau pegunungan, atau hijaunya bukit, birunya hamparan awan, hangatnya kebersamaan ketika camping, ditambah dengan update status yang isinya "Escape Jakarta, Bismillah, next destination...", bayangkan apa yang anda rasakan? Pasti dongkol, mengumpat dalam hati karena anda masih ada di meja kantor atau kursi kampus, sedangkan dia sedang bertualang menikmati perjalanan dengan kehidupan di sudut-sudut kota & desa. Tidak usah "muna", yakin lah karena hampir semua orang merasakan itu kok, manusiawi, haha...

Kegilaan saya ini sudah dimulai sejak 6-7 tahun yang lalu, berawal dari hanya jalan-jalan singkat ke Puncak Bogor, camping-camping singkat di daerah Sukabumi, keliling kota Jakarta. Menjadi sebuah hobi, yang pada akhirnya sekarang sudah menjadi sebuah kebutuhan. Saya sebut kebutuhan karena jika sudah jam pulang kantor maka otak saya otomatis akan berpikir "kapan kita kemana?". Yaa, rutinitas pekerjaan digantikan dengan rutinitas sibuk mencari destinasi baru, sibuk mencari transportasi beserta alternatifnya, sibuk hunting tiket pesawat dan kereta api, sibuk meracuni teman untuk ajak gabung, sibuk membuat rencana perjalanan, dan sibuk mengutak-atik smartphone untuk mencari referensi-referensi perjalanan.

Sadar bahwa saya sendiri sangat terbantu dengan adanya catatan-catatan perjalanan yang tersebar di dunia maya, yang disajikan oleh para blogger, dan ditambah keinginan mengasah kembali hobi menulis saya, maka Indonesia Dalam Kata menjadi sebuah memori eksternal otak saya agar apa yang saya rasakan selama mengunjungi sudut-sudut daerah di Indonesia dapat dirasakan oleh orang-orang yang memiliki penyakit yang sama seperti saya, yaitu penyakit kegilaan terhadap Indonesia. Karena merasakan Indonesia tidak cukup hanya dengan kata.