“Tiba di Stasiun
Lempuyangan pukul 8.30 pagi, pulang kembali Jakarta pukul 8.30 malam”
![]() |
Suasana pagi di Jalan Malioboro, Jogja |
Perjalanan yang bisa dikatakan konyol ini, masih membuat saya gak habis pikir akan butuhnya saya dengan yang namanya, jalan-jalan alias NGELAYAP. Bukan hanya karena durasi waktu yang dihabiskan cukup singkat (yang notabene agak sedikit aneh dengan kebiasaan para backpacker), tetapi juga karena persiapan dan keputusan untuk ngelayap ke kota Gudeg ini sangat sangat tidak masuk akal.
Kegiatan ngelayap ke Jogja ini saya lakukan di bulan Juli tahun 2010. Saat itu ada beberapa teman dari kampus yang mengajak saya untuk backpacker-an kesana selama 4 hari. Dikarenakan pada bulan tersebut ada kegiatan kampus yang harus saya ikuti, akhirnya setelah melihat jadwal terakhir kegiatan tersebut maka disepakati bahwa tanggal berangkatnya adalah 12 Juli 2010 dengan menumpang kereta api Progo dan pulang tanggal 16 Juli 2010 dengan kereta yang sama. Sampai tiba pada H-2 sebelum keberangkatan, jeegggeeerrrrr...!!!!! Kondisi terjepit akhirnya menimpa saya dan salah satu rekan saya yang juga akan berangkat ke Jogja. Keputusan rapat akan kegiatan kampus yang saya maksud di atas diundur sampai tanggal 14 Juli. What???!!!!!! ”Gue kan ngelayap ke Jogja tanggal segitu”, gumam saya dalam hati sambil elus-elus dada, injek-injek bumi, banting-banting kursi, keluarin kamekameha si Dragon Ball yang akhirnya menghancurkan dinding salah satu ruangan kampus. Oke, cukup, itu agak berlebihan.
Kegiatan ngelayap ke Jogja ini saya lakukan di bulan Juli tahun 2010. Saat itu ada beberapa teman dari kampus yang mengajak saya untuk backpacker-an kesana selama 4 hari. Dikarenakan pada bulan tersebut ada kegiatan kampus yang harus saya ikuti, akhirnya setelah melihat jadwal terakhir kegiatan tersebut maka disepakati bahwa tanggal berangkatnya adalah 12 Juli 2010 dengan menumpang kereta api Progo dan pulang tanggal 16 Juli 2010 dengan kereta yang sama. Sampai tiba pada H-2 sebelum keberangkatan, jeegggeeerrrrr...!!!!! Kondisi terjepit akhirnya menimpa saya dan salah satu rekan saya yang juga akan berangkat ke Jogja. Keputusan rapat akan kegiatan kampus yang saya maksud di atas diundur sampai tanggal 14 Juli. What???!!!!!! ”Gue kan ngelayap ke Jogja tanggal segitu”, gumam saya dalam hati sambil elus-elus dada, injek-injek bumi, banting-banting kursi, keluarin kamekameha si Dragon Ball yang akhirnya menghancurkan dinding salah satu ruangan kampus. Oke, cukup, itu agak berlebihan.
Galau, yaa galau yang
saya rasakan. Bayangan akan serunya kebersamaan dengan teman-teman kampus saya
selama berada disana, musnah seketika. Otak kembali dipenuhi dengan ribetnya kegiatan kampus yang harus
diundur. Sampai tiba saat hari keberangkatan, siang itu tingkat kegalauan saya
semakin memuncak karena teman-teman saya yang akan berangkat ke Jogja sudah
berkumpul dengan daypack-nya
masing-masing.
“Jadi ikut gak?”, tanya salah seorang teman saya.
Tanpa menoleh saya
menggelengkan kepala sambil meninggalkan mereka, kembali masuk ke kamar kos
saya. Setengah jam kemudian mereka pun berangkat.
Ohh tidak, hati gundah
gulana. Saya dan satu teman saya yang bernasib sama, akhirnya hanya main pasir
dan batu di depan kosan, meratapi nasib yang menimpa kami.
“Bisa gak sih, kalau kita berangkat sekarang,
besok malamnya langsung pulang biar tanggal 14 udah bisa ada di kampus?”, tanya teman senasib saya sambil gigitin salah satu batang pohon.
Saya tidak menjawab,
tetapi otak saya tiba-tiba langsung berputar ketika pertanyaan tersebut dia
lempar. Sambil menunggu jawaban saya, dia pun semakin lahap menggigiti batang
pohon.
“Bisa-bisa aja sih, tapi gak bakal sempat ke pantai parangtritis, paling kita cuma bisa
main-main di kota Jogjanya”, jawab saya beberapa menit kemudian sambil menarik
dia agar tidak melanjutkan kegiatan menggigiti pohon, karena bisa-bisa nanti
habis 1 pohon hanya untuk dia seorang, tetapi dia menolak dan saya di-getok pakai batang pohon yang ada
ditangannya, yang akhirnya menyebabkan saya jadi tambah tampan. Oppsss, sabar pemirsa, saya memang sudah
tampan kok walaupun tidak di-getok dengan
batang pohon. (Sudah, jangan kita lanjutkan tentang batang pohon itu).
“Yauda yuk kita berangkat. Masih cukup kan
kalau kita ke stasiun senen sekarang?”, ajak teman saya.
Lihat jam, sudah
menunjukan pukul 3 sore. “Cukup, tapi harus beli tiket dulu biar gak kehabisan”, jawab saya sambil
bergegas mengambil handphone untuk
menghubungi teman –teman saya yang sudah tiba di stasiun Pasar Senen.
Yesss,
ternyata teman-teman saya masih mengantri untuk membeli tiket. Langsung saya
titip 2 tiket untuk kami berdua. Tidak pikir panjang, kami berdua pun langsung
bergegas. Setengah jam kemudian, kami sudah siap berangkat menuju Pasar Senen.
Saya hanya dengan satu pocket bag
selempang yang berisi dompet dan handphone
sedangkan teman saya dengan satu buah tas ransel imut yang biasa dipakai untuk nge-mol.
Sebelum
tiba di stasiun Pasar Senen, ada hal menarik karena kecerdasan kami berdua
diuji. Saat itu di daerah Manggarai, kami bertanya tentang angkutan menuju stasiun Pasar Senen kepada seorang bapak yang
sedang asyik merokok sambil mengobrol. Si bapak menjawab kami harus naik metromini . Setelah di dalam
metromini, saya kembali bertanya kepada kernetnya apakah ini ke stasiun Pasar
Senen.
“Iya
mas, ini trayek Manggarai-Pasar Senen, tapi sekarang ini menuju terminal Manggarai,
kalau mas mau ke Senen naik yang dari seberang”, jawab sang kernet.
Ohh,
yaa, dengan tampang kami yang pongo (walaupun
mencoba tetap cool, tetap aja
keliatan pongo-nya) sambil bilang
terima kasih kepada sang kernet, langsung kami turun kembali dari metromini
tersebut. Happ, kami meloncat keluar
dan bersiap untuk menyeberang.
“Naiknya
dari seberang sana dek kalau mau ke
Senen!” teriak bapak dari jauh yang kami tanyai tadi.
“Yaaaeeelllaahhhhh Pak, telaaaaattttt.
Bagus tadi gue nanya lagi, coba kalau nggak,
hadehhhh”, gumam saya dalam hati
sambil mengangguk ke si bapak.
![]() |
Bercengkerama di pinggir peron Stasiun Pasar Senen, kehangatan kebersamaan |
Setibanya
di stasiun Pasar Senen, sebelum bertemu dengan teman-teman saya yang sudah
menunggu, saya membeli 2 bungkus nasi goreng dulu sebagai persiapan makan malam
di atas kereta nanti. Setelah bertemu dengan teman-teman yang lain, maka tenang
lah hati saya karena tandanya saya tetap bisa ke Jogja. Sedikit bercengkerama
di peron stasiun mewarnai malam itu ketika menunggu kehadiran kereta Progo.
Teman-teman saya hanya bisa geleng-geleng kepala ketika saya ceritakan kenapa
kami berdua memutuskan tetap berangkat dan hanya ”singgah” sebentar di Jogja
sebelum kembali lagi ke kampus.
Progo,
kereta yang sangat akrab tidak hanya
oleh mereka yang ingin pulang ke kampung halaman, tetapi juga sangat akrab oleh
para pelancong yang ingin menikmati suasana malam di Malioboro. Saat itu PT.
KAI belum mereformasi dirinya seperti sekarang ini. Belum ada pelayanan
pemesanan tiket secara online, belum
ada sistem boarding pass, belum ada
ketegasan atas “kepemilikan” nomor kursi. Ketika kereta datang, khususnya kelas
ekonomi, maka akan langsung dihinggapi oleh ratusan, bahkan ribuan manusia yang
berebut mendapatkan tempat duduk. Sistem penomoran tempat duduk tidak
berfungsi, semua menggunakan sistem “siapa cepat dia dapat”. Kapasitas
penumpang pun tidak diperhatikan. Tiket akan terus dijual selama kereta belum
berangkat, nomor kursi “berdiri” bisa muncul.
Maka
malam itu di dalam kereta Progo menuju kota Gudeg, sisi lain dari kehidupan
masyarakat Indonesia menjadi penampakan yang sangat indah. Semua orang berjubel
masuk ke dalam kereta dengan barang bawaannya masing-masing. Tempat duduk
terisi penuh. Lorong gerbong kereta yang berfungsi sebagai tempat orang berjalan,
berganti fungsi menjadi kursi ekstra bagi mereka yang tidak dapat tempat duduk.
Sambungan gerbong yang tidak boleh dijadikan tempat berdiam diri, menjadi ruang
khusus bagi mereka yang merokok. Ayam yang dimasukan ke dalam keranjang
mengeluarkan suara khasnya, bau minyak angin bercampur dengan bau beragam
makanan menghiasi semilir angin yang masuk ke dalam gerbong melalui jendela.
Pukul 8 pagi, kereta Progo akhirnya tiba di stasiun akhir perjalanannya, stasiun Lempunyangan. Suasana pagi di stasiun Lempuyangan tidak berbeda jauh dengan stasiun-stasiun lainnya di Indonesia, ramai oleh orang yang menawarkan jasa transportasi. jam menunjukan pukul 8.30, melihat adanya toilet umum saya beserta yang lain segera bergegas hanya untuk sekedar cuci muka & sikat gigi. Mengingat kondisi kami tadi malam yang bermandikan keringat selama perjalanan, maka wangi-wangi semerbak parfum merek BB, alias Bau Badan, menjadi khas rombongan kami, hehe.
![]() |
Komplek Candi Prambanan |
Tujuan kami yang pertama adalah, Malioboro. Karena saat itu
kami tidak punya itinerary matang, maka hari itu disepakati untuk berkeliling
kota Jogja saja. Berjalan kaki dari stasiun Lempuyangan menuju Malioboro,
diselingi dengan canda tawa bersama keramahan pagi di kota Jogja, melewati
jalan & gang kecil yang dipenuhi senyuman khas warga Jogja, akan menjadi
virus tersendiri sehingga siapa pun yang merasakan itu akan berniat untuk
kembali lagi di lain waktu.
Tiba di Malioboro, langsung menuju Tourist Center untuk mengambil peta wisata
& bertanya rute keliling objek wisata Jogja. Kami disarankan menuju Candi
Prambanan, karena akses transportasinya cukup mudah & murah, yaitu
menggunakan Trans Jogja (saudara dari Busway Transjakarta). Dengan membeli
tiket seharga Rp. 3000/orang, kami sudah bisa sampai di Candi Prambanan.
Saat itu Trans Jogja bisa dikatakan bagus, kondisi bus yang masih terawat,
Shelter yang bersih dan sudah menggunakan sistem e-ticketing, serta pelayanan
petugas yang ramah menjadikan Trans Jogja transportasi andalan bagi para
backpacker seperti kami. Ketika kami masuk ke dalam Trans Jogja, kami merasakan
betapa harumnya parfum BB kami, sehingga masing-masing dari kami pun menutup
hidung menahan napas, haha. Mohon maaf kepada penumpang lainnya, maklumlah
tidak mandi, haha.
Sekitar 45 menit kemudian kami tiba di Candi Prambanan.
Komplek candi yang memiliki cerita tentang usaha seorang pria yang menerima
tantangan seorang wanita yang dicintainya. Mendirikan 1000 candi dalam waktu
satu malam. Walaupun usahanya tidak berhasil, tetapi makna yang disampaikan
sangan dalam. Perjuangan besar seorang pria untuk mendapatkan wanita, bukanlah
perjuangan biasa, karena lembaran hidup baru akan terbuka ketika wanita itu
dimilikinya.
Membayar
tiket masuk sebesar Rp.15.000/orang, untuk saat itu, tahun 2010, entah berapa
untuk sekarang, hhe. Siang yang terik, tidak menghalangi kami untuk menjelajahi
komplek candi. Hampir setiap sudut komplek candi kami jelajahi. Apalagi selain
foto-foto yang bisa kami lakukan. Setelah selesai sholat Dzuhur jama' Ashar dan
makan siang di komplek Candi dengan membayar Rp.15.000/orang, kami kembali
menaiki Trans Jogja ke Malioboro.
![]() |
Diskusi rute keliling Jogja |
Tiba di Malioboro, teman-teman saya yang lain langsung
mencari penginapan untuk mereka, sedangkan saya dan rekan saya (yang suka
gigitin batang pohon itu) menghabiskan sore dengan jelajah Malioboro. Benteng
Vredeburg menjadi salah satu destinasi kami berdua walaupun sudah ditutup untuk
umum karena sudah waktunya tutup (yaiyalah, masa waktunya buka). Sekedar foto
agar tidak dibilang hoax, jadi ritual wajib, hhe.
Selesai jelajah Malioboro, menjelang Maghrib kami
menghubungi teman-teman yang lain untuk menanyakan penginapan mereka. Terletak
di Jl. Sosrowijayan, penginapan itu memiliki beberapa kamar. Teman-teman kami
menyewa 1 kamar besar dengan 3 tempat tidur dan kamar mandi di dalam seharga
Rp.100.000/malam. Jika dibagi 8 orang (jumlah mereka yang menginap), maka per
orang hanya dikenakan Rp.12.500. Murah beneerrr. Kami hanya menumpang mandi dan
istirahat sebentar di penginapan itu. Selanjutnya, kami langsung kembali ke
Jakarta.
Mandi sudah, maka kami berdua pamit kepada ke yang lain.
Teman-teman kami yang lain masih melanjutkan petualangannya selama 3 hari lagi.
Dengan berharap bahwa masih ada kereta yang ke arah Jakarta, kami berdua
melangkahkan kaki dengan cepat ke stasiun Tugu. Sampai disana, memang masih ada
kereta ke Jakarta, tetapi kereta eksekutif, sedangkan kelas bisnis sudah tidak
ada. Panik? Ya, sedikit, karena harapan kami berdua tinggal naik bus walaupun
tidak tahu naik bus apa dan darimana naiknya.
Lihat-lihat kontak di handphone, siapa tahu ada teman di
Jogja yang bisa bantu mencari jalan pulang kami. Dapat satu nama teman SMA saya
yang kuliah di Jogja. Saya telepon, tidak diangkat. Telepon lagi, tidak aktif.
Saya mulai kesal. Coba lagi.
"Halo", jawab suara diseberang sana. Akhirnya.
Terminal Giwangan, jadi tujuan kami untuk mencari bus ke Jakarta berdasarkan
saran teman yang saya telepon. Dengan menggunakan TransJogja, kami tiba di
terminal Giwangan. Sepi. Hampir tidak terasa nuansa terminalnya. Sempat ragu,
apakah bisa dari terminal ini kami kembali ke Jakarta.
Kami coba masuk lebih ke dalam, ternyata ada deretan loket
bus beserta warung-warung. Langsung saja kami tanya yang tujuan Jakarta. Satu
orang memberitahu kalau yang ke Jakarta sudah habis. Tidak percaya, kami
bertanya lagi. Orang kedua juga bilang habis. Orang ketiga pun sama. Sampai
kami didekati orang yang bisa dibilang 'calo'. Calo itu menawarkan bus tujuan
Pekanbaru yang melewati Jakarta via jalur selatan. Tanya harga, ternyata harga
yang ditawarkan sangat 'wow', Rp.180.000,- per orang. Kami tolak, karena memang
kami tidak ada uang lagi. Berharap calo tersebut menurunkan tawarannya. Sambil
berjalan pergi dari calo tersebut, teman saya bertanya.
"Gimana kalau malam ini kita ga bisa pulang ke
Jakarta?", tanyanya.
"Yaa paling kita balik ke penginapan, ikut backpackeran
sama yang lain", jawab saya.
"Terus acara di kampus?", tanyanya lagi.
"Ya ditinggal, mau gimana lagi coba? Paling kita
ditempelengin sama yang lain, haha", jawab saya seraya menghibur diri.
Sedang asyiknya kami mengobrol, tiba-tiba calo tadi
mendekati kami dan menawarkan kembali. Kali ini dengan menurunkan harga menjadi
Rp.150.000,-. Saya tawar Rp.100.000,-. Setelah negosiasi yang cukup alot,
akhirnya disepakati ongkos yang kami bayar Rp.110.000,-/orang. Langsung saja kami
naik ke atas bus tujuan Pekanbaru tersebut. Tidak lama kemudian, bus berjalan
meninggalkan terminal Giwangan. Hanya menunggu beberapa menit, kami juga mulai
tertidur.
Apakah sudah selesai petualangan kami? Belum saudara-saudara
sekalian. Di tengah perjalanan saya terbangun, melihat ke arah jendela untuk
mengetahui sudah berada dimana bus ini. Ternyata bus ini tidak melewati jalur
selatan, tetapi lewat jalur utara yang lebih jauh jika dari Jogja ke Jakarta.
Artinya, kami dikibulin oleh calo di terminal Giwangan. Tak apa-apa lah, toh
yang penting kami bisa tiba di Jakarta.
Bus
memasuki tol dalam kota Jakarta dan berhenti di pintu tol jatibening. Yang
tujuan Jakarta dipersilahkan untuk turun karena bus tersebut tidak akan
berhenti lagi sampai di Pelabuhan Merak. Dari Jatibening kami melanjutkan naik
angkutan umum, mulai dari bus patas, kopaja, sampai angkot. Daaaannnn, ketika
kami tiba dikosan, uang kami berdua tersisa 2 lembar uang 5 ribuan, 4 lembar 2
ribuan, 1 lembar uang seribuan, dan 2 logam gope'an, jika dijumlah menjadi
Rp.20.000,-, hahaha.
Jika melihat waktu kami selama di Jogja, mungkin akan terasa sangat sebentar, 12 jam saja. Tetapi, jika dirasakan pengalaman yang kami dapatkan selama menjalani kenekatan itu, maka salah satu keindahan Indonesia berbekas di hati kami. Indonesia dengan segala ketidakteraturannya, tetapi tetap Indonesia indah. Jadi, tunggu apalagi? Ayo rasakan Indonesia yang sesungguhnya, karena Indonesia tidak hanya cukup dengan kata.
Jika melihat waktu kami selama di Jogja, mungkin akan terasa sangat sebentar, 12 jam saja. Tetapi, jika dirasakan pengalaman yang kami dapatkan selama menjalani kenekatan itu, maka salah satu keindahan Indonesia berbekas di hati kami. Indonesia dengan segala ketidakteraturannya, tetapi tetap Indonesia indah. Jadi, tunggu apalagi? Ayo rasakan Indonesia yang sesungguhnya, karena Indonesia tidak hanya cukup dengan kata.
![]() |
Suasana malam di sudut Jalan Malioboro |